1122 - Peranan Wanita Pemasak dalam Budaya Kuliner Bugis-Makassar

Nama Inisiator

Andi Meirling,S.S.

Bidang Seni

penelitian

Pengalaman

Baru memulai

Contoh Karya

Kategori Proyek

riset_kajian_kuratorial

Deskripsi Proyek

Sebagai proyek penelitian yang menjadikan wanita pemasak makanan khas suku Bugis-Makassar sebagai objek penelitian, maka perlu dilakukan observasi langsung di kediaman keluarga yang melaksanakan pernikahan. Untuk mendapatkan data yang objektif, maka Tim Peneliti yang berjumlah 6 orang, terlebih dahulu akan mencari informasi mengenai pesta pernikahan keluarga, tetangga, teman, dan masyarakat suku Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan. Setelah ditemukan keluarga tertentu yang ingin melangsungkan pernikahan, Tim Peneliti meminta izin kepada keluarga yang bersangkutan untuk melaksanakan penelitian. Fokus penelitian ini ialah mewawancarai wanita pemasak dan mendokumentasikan kegiatan yang digelutinya, serta hasil makanan yang dihasilkan pada malam mappacci (malam sebelum pernikahan dilaksanakan). Setelah data terkumpul dan diolah, maka data ditransformasikan ke dalam bentuk softcopy berupa video dalam bentuk CD dan hardcopy berupa cetak hasil penelitian. Hasil penelitian ini juga direncanakan untuk dapat dipublikasikan dalam bentuk buku berjudul “Peranan Wanita Pemasak dalam Budaya Kuliner Bugis-Makassar” versi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris kepada masyarakat umum (Indonesia dan mancanegara). Selain itu, sangat perlu dilakukan pengikutsertaan dalam seminar internasional di dalam atau di luar negeri.

Latar Belakang Proyek

Salah satu hal yang menjadi kunci keberhasilan terselenggaranya pesta pernikahan suku Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan adalah Bas (koordinator memasak). Bas sangat dipercaya oleh tuan rumah penyelenggara untuk mengolah makanan yang akan dihidangkan untuk tamu mereka. Pada zaman dahulu Bas biasanya berasal dari kalangan keluarga dekat penyelenggara pesta. Namun, pada zaman sekarang Bas sudah memiliki tim yang terdiri atas laki-laki dan perempuan yang bukan berasal dari lingkungan keluarga penyelenggara pesta, melainkan dari kalangan masyarakat umum. Adapun makanan tradisional yang biasanya dibuat oleh Bas dalam pernikahan keluarga suku Bugis-Makassar, seperti kue bannang-bannang, sikaporo, cucuru bayao, biji nangka, beppa pute, hingga hidangan khas wajib lainnya yang terbuat dari beras ketan putih yang disebut kaddo’ minyak. Dari berbagai jenis makanan tradisional tersebut, kue beppa pute dan hidangan kaddo’ minyak memiliki keistimewaan tersendiri karena menurut kepercayaan suku Bugis-Makassar bahwa kedua jenis makanan tradisional tersebut dalam pernikahan umumnya diolah oleh seorang wanita berusia paruh baya yang sudah berpengalaman. Masyarakat Bugis-Makassar meyakini bahwa olahan makanan tersebut hasil akhirnya tidak akan maksimal jika tidak memenuhi persyaratan tersebut.

Masalah yang Diangkat

Masyarakat umum bahkan wanita pemasak keluarga itu terkadang tidak menyadari bahwa jasanya dalam membuat hidangan sederhana tersebut, sekaligus merupakan salah satu bentuk pemertahanan budaya kuliner tradisional Bugis-Makassar di Indonesia. Oleh karena itu, salah satu bentuk apresiasi terhadap jasa wanita pemasak keluarga, dan hidangan yang dihasilkannya perlu adanya dokumentasi eletronik berupa rekaman, dokumentasi cetak berupa buku yang dipublikasikan secara luas untuk masyarakat umum, dan seminar publikasi internasional hasil penelitian.

Indikator Sukses

Untuk mendapatkan data yang diinginkan dalam penelitian yang berorientasi pada keterkaitan wanita pemasak dan pemertahanan budaya kuliner dalam pernikahan suku Bugis-Makassar, bukanlah hal yang terlalu sulit karena Tim proyek penelitian ini terdiri atas wanita yang berjumlah 6 orang, bersuku Bugis-Makassar, alumni magister Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin yang memiliki kemampuan sosial yang cukup baik dan memahami dengan baik pengolahan, pengklasifikasian, dan penyajian data. Selain itu, tidak menutup kemungkinan data yang diinginkan dapat diperoleh dengan cukup mudah karena berbagai suku Bugis, seperti Sidrap, Bone, Pinrang, Sengkang, atau Soppeng dan suku Makassar, seperti Takalar, Gowa, Jeneponto, Bantaeng, atau Maros sudah menetap di pusat Kota Makassar.

Dana yang Dibutuhkan

Rp.150 Juta

Durasi Proyek

9 bulan