1220 - Kolaborasi Seniman Lukis Muda dengan Aktifis Perempuan

Nama Inisiator

Esthi Susanti Hudiono

Bidang Seni

kuratorial

Pengalaman

Menjadi kurator pameran lukisan pada bulan September 2017 dan membuat mural dan parikan di daerah kampung miskin kota pada bulan Maret 2018. Sekarang sedang mempersiapkan 3 pameran.

Contoh Karya

WhatsApp Image 2018-03-25 at 21.18.35.jpeg

Kategori Proyek

lintasgenerasi

Deskripsi Proyek

Proyek ini adalah proyek pengakaderan feminist ke pelukis perempuan berbakat berusia 27 tahun untuk membongkar wacana dan mengangkat peranan peranan perempuan dalam mengIndonesia. Karena itu dari pertama telah ada komitmen bahwa Seruni yang saat ini berusia 27 tahun mau belajar dan menjadi feminist. Pameran direncanakan di Jakarta dengan beberapa tempat yang ditetapkan seperti musium nasional, Bendara Budaya, Galery Nasional. Lalu pameran ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari kekerasan terhadap perempuan dan hak asasi manusia pada 25 September sampai dengan 15 Desember 2018. Proyek ini telah dimulai sejak bulan Desember 2017 dan berproses melalui studi literatur, kunjungan musium perempuan, diskusi dan dialog. Hasilnya adalah Seruni telah berhasil melukis beberapa lukisan seperti Gayatri, Inggit dan Saparlinah Sadli, Meneer. Tema dipertajam terus menerus dalam proses. Pada awalnya idenya menampilkan perempuan pioner Nusantara. Perempuan yang memiliki kualitas kepioniran dalam suatu bidang untuk Nusantara. Dalam penjelajahan dan diskusi yang dilakukan akhirnya ditetapkan penelusuran tokoh dimulai dari jaman majapahit yakni Gayatri. Pendiri bangsa seperti Soekarno mendirikan bangsa Indonesia dengan mengacu mulai dari kebesaran kerajaan Majapahit. Gayatri adalah perempuan pelopor yang mengeksekusi cita-cita bapaknya menyatukan Nusantara. Di Indonesia sendiri Gayatri tidak dikenali dan diakui sebagai perempuan yang mengambil peran penting dalam membesarkan Majapahit.

Latar Belakang Proyek

Pengalaman Esthi lebih dari 30 tahun bekerja untuk isu keadilan dan persamaan perempuan hingga sekarang belum membuahkan hasil yang memuaskan terutama terkait dengan struktur patriarki negara, masyarakat dan keluarga yang menjadi sumber kekerasan dan masalah pada perempuan. Observasi sepintas yang dilakukan Esthi justru ada kecenderungan Indonesia hendak mengadopsi stuktur patriarki dari timur tengah. Struktur patriarki Nusantara justru lebih lentur dan memberi ruang perempuan berperanan sebagai pemimpin di berbagai pihak. Selain itu strategi kerja Esthi sebagai aktivis sebelumnya menggunakan pendekatan intelektual melalui riset, perubahan kebijakan dan aksi untuk menghilangkan stigma, stereotipe, subordinasi dan kekerasan belum membuahkan hasil yang memuaskan dan belum membangun kesadaran kolektif di antara sesama perempuan untuk mendapatkan martabat dirinya sebagai manusia utuh. Feminisme masih dimusuhi dan dipersepsikan sebagai musuh dari laki-laki yang juga menjadi korban sistem patriarki. Refleksi yang dilakukan atas ketidakberhasilan kerja panjang tersebut baik sendiri maupun kolektif mengerucut dalam kesimpulan bahwa gerakan perempuan di Indonesia melupakan dan meninggalkan pendekatan seni dan budaya. Atas dasar analisa ini sejak tahun 2017 Esthi mendirikan komunitas Inklusi Sosial dan Perdamaian Indonesia (KISPI) untuk membangun gerakanperdamaian Indonesia melalui inklusi sosial dengan pendekatan literasi, seni dan budaya serta dialog. Ada 2 kegiatan yang telah dilakukan.

Masalah yang Diangkat

Observasi terhadap hasil karya pelukis perempuan pada umumnya belum menunjukkan pengangkatan masalah dan pengalaman perempuan khusus perempuan. Eksplorasi tema lukisan masih banyak yang konsentrasi pada keindahan di lingkup domestik. Selain itu sedikit sekali pelukis perempuan yang sampai pada tingkat maestro. Untuk ini dipilihlah pelukis perempuan yang punya potensi menjadi maestro dan bersedia menjadi feminist. Ini dicapai melalui pengkaderan dan penerusan nilai persamaan dan keadilan ke pelukis perempuan muda tersebut. Juga masalah meningkatkan kepekaan pelukis perempuan terhadap nilai dan pengalaman khusus perempuan. Caranya dengan mengangkat tema perempuan dan pengalaman perempuan Nusantara sebagai subyek yang akan dilukis. Internalisasi nilai feminist terjadi melalui dialog dan pengenalan tokoh yang dilukis. Masalah level kedua yang diangkat dan hendak dipecahkan melalui dekontruksi dan rekonstruksi wacana tentang kepioniran perempuan dan ibu bangsa. Selama ini belum ada wacana tentang kepioniran perempuan dalam mengindonesia. Ini hendak mendekontruksi ide bahwa perempuan secara alamiah berada di bawah laki-laki dan tidak memiliki inisiatif serta kemandirian berpikir. Dalam sejarah banyak perempuan yang memiliki kepioniran dalam kehidupan sosial seperti Gayatri sekalipun tidak memiliki posisi formal namun diperlakukan sebagai pemimpin perempuan. Bukti pengakuan ke Gayatri adalah adanya patung perwujudan Gayatri dalam bentuk dewi Buddha dan Hindu.

Indikator Sukses

- Karya 30 lukis perempuan pionir dan perempuan yang layak disebut ibu bangsa yang dipilih berdasarkan seleksi sekitar 50 orang dan tim kurator. Lukisan ini kelas masuk musium. - Adanya profil 30 perempuan pilihan yang didokumentasi dalam buku yang bisa dijadikan rujukan karya dan tulisan lain. - Munculnya konsep Perempuan Pionir dan Ibu Bangsa di ruang media cetak dan televisi serta media online. - Adanya pelukis perempuan muda yang memiliki pemahaman dan perspektif feminis. - Terjadinya kolaborasi 50 akademisi dan aktivis dengan seniman dalam memunculkan peran perempuan yang memiliki kontribusi penting dalam mengindonesia ke ruang publik. - Adanya penyebaran ide yang ditawarkan dalam proyek ini melakukan pengunjung, undangan pameran dan peserta diskusi. - Memasukkan isu feminisme ke dalam dunia seni lukis. Harapannya proyek ini memberi dampak perubahan mind set dan menjadi diskusi selanjutnya setelah pameran selesai tentang perempuan pioner dan ibu bangsa.

Dana yang Dibutuhkan

Rp.169 Juta

Durasi Proyek

8 bulan