388 - Video Partisipasi untuk Perdamaian di Tanah Papua

Nama Inisiator

Adeline May Tumenggung

Bidang Seni

penelitian

Pengalaman

Lebih dari 20 tahun wartawati, 13 tahun produser film dokumenter sekaligus pekerja sosial / pendamping masyarakat akar rumput

Contoh Karya

adeline-showcase1.mp4

Kategori Proyek

riset_kajian_kuratorial

Deskripsi Proyek

Proyek ini adalah penelitian tentang video dokumenter partisipasi (participatory video documentary) dengan peserta para perempuan asli Papua yang hidupnya pernah terkena dampak konflik kekerasan – khususnya politik, namun tak menutup partisipasi dari korban kekerasan domestik. Salah satu tujuan Video Partisipasi untuk Perdamaian di Tanah Papua ini adalah pertama-tama membalik sudut pandang para perempuan dari korban kekerasan menjadi pelaku perdamaian. Tujuan kedua adalah mengikutsertakan suara para perempuan di tingkat akar rumput – suara-suara yang biasanya terabaikan – dalam kancah dialog nasional dan internasional tentang proses perdamaian di Tanah Papua. Dalam proyek ini peneliti mengadakan pelatihan produksi film dengan menggunakan alat sederhana – yaitu telepon genggam (smartphone). Para peserta belajar tentang proses produksi, menyutradarai, mengambil gambar dan menyunting (mengedit) film. Para peserta kemudian memproduksi film mereka yang berbicara tak hanya tentang pengalaman mereka sebagai korban kekerasan di masa lalu, namun juga menyuarakan pendapat dan saran-saran mereka untuk menyelesaikan konflik dan memperbaiki kehidupan masyarakat Tanah Papua di masa depan.

Latar Belakang Proyek

Sebagai mantan wartawati lapangan terutama dari pengalamannya meliput konflik dan bencana gempa diikuti tsunami di Aceh, peneliti bertanya-tanya: apa yang akan terjadi jika lensa kamera dibalik? Peneliti melihat betapa mudahnya kamera televisi dan wartawan-wartawan asing merekam wajah-wajah sedih perempuan korban konflik dan bencana alam. Di sisi lain, sebagai seorang perempuan, peneliti juga bergaul dengan para nara sumber ini hingga mendapat suatu pengertian dan sudut pandang yang baru akan ketahanan para perempuan dalam menghadapi berbagai cobaan. Terkadang perempuan-perempuan ini sebenarnya merupakan pemimpin dalam keluarga, namun karena tradisi, mereka berdiam diri di belakang para lelaki. Hanya ketika duduk bersama dan bercerita, barulah peneliti mengenal diri para perempuan ini yang sebenarnya. Dari situlah, peneliti bertekad membalik lensa. Menyerahkan kamera dan membalik lensa bagi peneliti berarti menyerahkan kekuasaan – kuasa untuk memilih gambar, kuasa untuk menyingkap peristiwa, kuasa untuk menyunting pesan. Program video partisipasi (participatory video) inilah yang dilihat sebagai sarana tepat untuk membalik lensa. Tersedianya teknologi telepon pintar (smartphone) dan internet di berbagai pelosok, mendorong fenomena seperti jurnalisme warga dan maraknya cerita – fakta maupun gosip – yang dibagikan melalui media sosial. Peneliti yakin, dengan sedikit tambahan pengetahuan, perempuan akar rumput dapat menjadi penyebar kebenaran secara regional, nasional maupun ke seluruh dunia.

Masalah yang Diangkat

Mengikuti berita-berita perkembangan resolusi konflik di Papua, peneliti melihat bahwa kebanyakan pemerintah berkonsultasi dengan para ‘pakar’, akademisi, peneliti, yang kebanyakan adalah lelaki. Sangat jarang terjadi pejabat mendengarkan pendapat masyarakat akar rumput terutama perempuan asli Papua. Bahkan para pemimpin West Papua seperti ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) kebanyakan adalah lelaki. Berangkat dari keprihatinan ini, juga dari sudut pandang teori feminis seperti buku Sandra Harding yang mempertanyakan “Sains milik siapa? Pengetahuan milik siapa?”, peneliti ingin mengangkat pengetahuan dan kebijakan yang berasal dari perempuan. Secara lebih khusus, peneliti ingin mengangkat pandangan dan pengetahuan dari perempuan asli Papua di mana budaya asli dapat menambah wawasan pengetahuan. Masih dalam ranah akademik, peneliti juga mengacu pada kritik Linda Tuhiwai Smith – perempuan akademik asli Maori – dalam bukunya “Indigenous Methodologies” (2012), di mana kebanyakan metode penelitian masih dipengaruhi pandangan berbasis kolonial. Artinya, pembuat keputusan cenderung mendengarkan pendapat kaum akademik dan tidak menghiraukan kebijakan dan pengetahuan yang berakar dari budaya masyarakat adat. Peneliti prihatin karena orang-orang asli Papua terutama kaum perempuan tampaknya semakin termarjinalisasi di atas tanah mereka sendiri. Untuk itu peneliti ingin segera mengangkat pendapat, pengetahuan dan kebijaksanaan asli dari para perempuan Papua dalam proses perdamaian dan resolusi konflik di Tanah Papua melalu video partisipasi.

Indikator Sukses

Kedua kelompok perempuan berhasil memproduksi film mereka, kedua film diputar dan disaksikan oleh pejabat pemerintahan Indonesia, film dokumenter diputar di film festival internasional (setidaknya di satu film festival di Indonesia dan di satu film festival di Inggris)

Dana yang Dibutuhkan

Rp.275 Juta

Durasi Proyek

5 bulan