413 - Revitalisasi Tari Cokek Sipatmo

Nama Inisiator

TRI ENDANG SULISTYOWATI

Bidang Seni

lainnya

Pengalaman

lebih dari 20 tahun mendampingi proses pemberdayaan komunitas perempuan akar rumput, utamanya melalui pemberdayaan ekonomi.

Contoh Karya

Kategori Proyek

akses

Deskripsi Proyek

Mendengar kata tari cokek pada umumnya yang terbayang adalah kesenian tradisional yang erat dengan konotasi negatif, dimana penarinya melakukan gerakan erotis bersama pasangan pria. Citra ini semakin diperkuat dengan tayangan di beberapa film era 80-an yang menampilkan adegan pesta yang diramaikan oleh kesenian cokek yang berlenggak lenggok secara erotis. Tari cokek yang dilakukan oleh perempuan juga berada dalam posisi dimarginalkan karena konotasi praktek terselubung sebagai penghibur. Dalam dunia cokek ada kemiskinan ekonomi dan budaya. Kemiskinan pada umumnya dilihat sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kekumuhan. Tulisan Jan Van der Putten (2014) yang mengangkat persoalan kekhawatiran di wilayah budaya Melayu dengan tarian yang dianggap vulgar, mungkin dapat dianggap relevan dengan apa yang terjadi dengan cokek. Citra negatif ini semakin mempersulit para perempuan yang mencari nafkah dengan menjadi anak wayang (penari cokek) karena masyarakat menjadi resisten terhadap keberadaan mereka dan menganggap mereka menjadi perusak rumah tangga. Akibatnya, kesenian ini semakin lama semakin menghilang. Untuk itu, perlu ada upaya menggali, merekonstruksi, dan merevitalisasi tari Cokek Sipatmo tersebut agar nilai-nilai dalam tarian Sip Pat Mo yang sebenarnya merupakan filosofi yang mengandung unsur religi yang bersumber dari budaya klenteng bisa kembali pulih.

Latar Belakang Proyek

Tari Cokek dari budaya peranakan Tionghoa telah menjadi ciri khas budaya komunitas Cina Benteng yang terutama dihadirkan dalam pesta perkawinan. Tari yang diturunkan dari musik gambang kromong ini berupa tari pergaulan sosial yang dilakukan oleh anak wayang (penari cokek) dengan pria tamu undangan pesta perkawinan dengan konotasi negatif karena dilakukan oleh si penari dan tamunya dalam posisi berdekatan, dan bahkan saling menempelkan badan sambil bermabukan. Hakikatnya, Tari Cokek adalah salah satu bentuk tari pergaulan yang bisa ditemui kemiripan fungsinya dengan tari pergaulan lain di berbagai wilayah di Indonesia. Namun, pada perkembangannya terjadi degradasi atau penurunan nilai dari kesenian tradisi yang memiliki nilai luhur menjadi tari pergaulan yang dibumbui aspek vulgar. Akibatnya kesenian Tari Cokek ini semakin memudar. PPSW Jakarta telah memulai proses pendampingan komunitas perempuan CIna Benteng di Kabupaten Tangerang untuk mereka ulang tari cokek yang jauh dari kesan vulgar dan erotis bersama dengan tim akademisi dari Institut Kesenian Jakarta. Namun, upaya ini masih perlu dukungan dari pihak lain agar kesenian ini kembali mendapat tempat di masyarakat.

Masalah yang Diangkat

Citra buruk para penari cokek yang lekat dengan identitas pelaku seni vulgar ini berdampak pada menurunnya kondisi perekonomian mereka. Stigma buruk yang melekat ini membuat tawaran pentas semakin menurun jika tidak bisa dibilang tidak ada lagi yang ingin mengundang kesenian gambang kromong beserta penari cokeknya untuk hadir dalam pesta warga setempat. Persoalan ini yang ingin ditangani dalam proyek ini melalui upaya revitalisasi tari cokek yang jauh dari unsur erotis dan vulgar. Karena kesenian dinilai memiliki peran penting dalam proses pemberdayaan masyarakat, terutama dalam hal ini mengangkat martabat dan memperbaiki citra perempuan penari cokek. Pelestarian kesenian tari cokek ini tidak hanya penting bagi komunitas Cina Benteng namun juga bagi pemerintah daerah setempat. Kesenian yang sebenarnya telah berusia panjang ini perlu dilahirkan kembali dalam bentuk yang lebih terhormat.

Indikator Sukses

Ukuran sukses proyek ini bisa dilihat dari : 1. Adanya “Rumah Budaya Cina Benteng” dimana didalamnya terdapat sanggar tari sebagai pusat kegiatan seni dan pelestarian budaya khas Cina benteng. 2. Meningkatnya animo masyarakat untuk turut berlatih kesenian tari cokek Sipatmo 3. Tari Cokek Sipatmo diakui sebagai ekstra kurikuler kesenian di 3 sekolah dasar

Dana yang Dibutuhkan

Rp.184 Juta

Durasi Proyek

8 bulan