438 - Karésmen Wira Jatina (Album Rebab Perempuan)

Nama Inisiator

Bunga Dessri Nur Ghaliyah

Bidang Seni

seni_pertunjukan

Pengalaman

6 tahun

Contoh Karya

Cuplikan Karesmen Wira Jatina.mp4

Kategori Proyek

akses

Deskripsi Proyek

Proyek ini merupakan produksi album lagu-lagu rebab yang digarap dan dimainkan oleh penulis sebagai perempuan. Album ini dinamai “Karesmén Wira Jatina”. Dalam bahasa Sunda, Karesmén berarti hasil pemikiran; Wira berarti pekerjaan laki-laki; dan Jatina melambangkan harmoni. Sehingga “Karesmén Wira Jatina” bermaksud menunjukkan bahwa perempuan mampu melakukan hal yang biasanya dilakukan laki-laki, serta keberadaan dan hasil pemikirannya diharapkan akan melengkapi karawitan Sunda. Album ini terdiri atas 8 lagu yang berasal dari berbagai gendre kesenian dalam karawitan Sunda seperti Wayang Golek, Kiliningan, dan Ketuk Tilu, yang kemudian diadaptasi (diaransir) menjadi musik instrumental rebab (tanpa vokal) dalam estetika kesenian Tembang Sunda Cianjuran. Dalam proses produksi, hal yang dilakukan adalah melakukan riset terhadap lagu-lagu yang akan digarap; penggarapan lagu; perekaman lagu; pembuatan Promotional Video yang menampilkan simbol peliyanan dan resistensi perempuan; mengunggah lagu ke layanan streaming musik seperti spotify, joox atau apple music; serta pencetakan album dalam bentuk CD. Produksi album ini bertujuan untuk menunjukkan potensi perempuan; pengembangan lagu tradisional Sunda; pendokumentasian karya; juga meningkatkan kesadaran serta kepedulian terhadap hak-hak dan kebebasan perempuan. Penulis juga berharap album ini akan memotivasi perempuan lain, untuk menjadi sosok yang berani, serta percaya diri untuk mengembangkan potensi dirinya semaksimal mungkin.

Latar Belakang Proyek

Di dalam karawitan Sunda terdapat aturan tidak tertulis, bahwa semua pemain alat musik rebab idealnya adalah laki-laki. Melalui observasi, penulis menyimpulkan bahwa aturan tersebut tidak memiliki landasan yang kuat karena bersifat sangat subjektif, misalnya rebab disimbolkan sebagai perempuan, maka yang berhak memainkannya hanya laki-laki; atau perempuan dianggap tidak akan mampu memainkan rebab karena rebab sangat sulit dipelajari. Maka dari itu, penulis selalu mempertanyakan dan menegoisasi hal tersebut. Kemudian, sejak tahun 2012 penulis mempelajari rebab hingga berhasil menjadi pemain rebab pertama dari ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) Bandung. Proses yang ditempuh untuk menjadi pemain rebab tidak mudah. Pada awalnya penulis mendapat banyak penolakan serta stigma negatif berupa anggapan tidak patuh pada tradisi, ataupun dianggap tidak layak berprofesi sebagai pemain rebab. Di sisi lain, penulis melihat banyak perempuan lain yang berpotensi, namun tidak berani mengembangkan dirinya karena aturan tersebut. Maka dari itu penulis ingin melakukan resistensi secara halus terhadap aturan yang menimbulkan pembatasan ruang gerak perempuan dalam karawitan Sunda, khususnya rebab. Salah satu cara resistensi adalah dengan membuktikan bahwa perempuan pun mampu memainkan rebab dan menggarap lagu dengan baik. Maka dari itu penulis berencana membuat proyek produksi album berisi lagu-lagu rebab yang digarap dan dimainkan oleh penulis sebagai perempuan.

Masalah yang Diangkat

Hingga saat ini, karawitan Sunda masih dapat dikatakan belum ramah terhadap perempuan. Salah satu contoh peliyanan pada perempuan tersebut yakni juru rebab (pemain alat musik rebab) yang dikonstruksi sebagai pekerjaan khusus laki-laki, dan perempuan “dibatasi” bahkan “dilarang” menjadi pemain rebab. Walaupun tidak ada aturan tertulis mengenai hal tersebut, namun dalam sejarah karawitan, terbukti bahwa tidak ada perempuan yang tercatat berprofesi khusus sebagai pemain rebab. Dalam kelompok seni, seorang juru rebab biasanya dianggap sebagai sosok yang paling ahli (paling menguasai) garap lagu, dan juga senantiasa dianggap sebagai pemimpin. Hal tersebut membuat masyarakat semakin mengamini bahwa perempuan sebagai sosok yang dianggap pasif dan pengurus ranah domestik, dianggap “tidak lazim” dan “tidak layak” menjadi seorang juru rebab. Kesulitan tersebut tidak membuat penulis berhenti menjadi seorang pemain rebab. Penulis berpikir bahwa sebagai bagian dari proses perkembangan kesenian, ketika terdapat sesuatu yang “di luar kebiasaan” (sesuatu yang baru) cukup dipahami apabila menimbulkan berbagai pandangan dan tanggapan, baik tanggapan setuju maupun tidak. Hal terpenting adalah bukan persoalan tentang boleh atau tidaknya melakukan sesuatu yang “di luar kebiasaan” itu, melainkan bagaimana seniman berupaya untuk mengembangkan maupun melestarikan suatu kesenian dengan sikap dan pemikiran yang bijak serta terbuka, demi mempertahankan eksistensi karawitan Sunda itu sendiri.

Indikator Sukses

Proyek ini dikatakan sukses jika penulis menyelesaikan produksi album “Karesmén Wira Jatina” yang kemudian disebarluaskan kepada masyarakat umum dan para seniman, melalui album cetak dalam bentuk CD (Compact Disc). Kemudian, untuk menjangkau ruang yang lebih luas, karya ini akan diunggah melalui layanan streaming musik seperti spotify, joox atau apple music

Dana yang Dibutuhkan

Rp.27 Juta

Durasi Proyek

9 bulan