674 - Kesunyian di Balik Erotisme Joged Bumbung

Nama Inisiator

Hani Fauzia Ramadhani

Bidang Seni

audiovisual

Pengalaman

2 Tahun

Contoh Karya

Previous Project (1).jpg

Kategori Proyek

riset_kajian_kuratorial

Deskripsi Proyek

Joged Bumbung merupakan sebuah tari hiburan yang sering dipentaskan dalam perayaan-perayaan seperti panen dan hajatan di Bali. Pementasan Joged Bumbung biasanya melibatkan seorang penari perempuan dan pengibing (penonton yang didaulat untuk menari ke panggung). Dalam perkembangannya, Joged Bumbung mendapatkan kesan negatif di kalangan masyarakat luas dikarenakan gerakan tarian antara laki-laki dan perempuan yang dianggap melanggar batas kesopanan. Kesan “Joged Jaruh” (tarian tidak senonoh) menjadi stigma yang sudah terlanjur melekat. Proyek ini bertujuan mengkaji dan mendalami kisah serta pandangan pribadi para perempuan yang melakoni Joged Bumbung dalam kaitannya dengan konsep diri beserta perangkat nilai yang mereka anut, utamanya mengenai otoritas atas tubuh dan seksualitas. Proyek ini akan digarap oleh lima anak muda yang peduli akan peranan perempuan dalam perkembangan budaya Bali. Kajian ini akan menggunakan metode wawancara terhadap enam orang penari Joged Bumbung dari tiga grup tari (sekaa tari) di Bali serta dua orang ahli. Wawancara akan dilakukan terhadap penari perempuan dengan usia berbeda-beda, dengan maksud menyoroti ada atau tidaknya pengaruh nilai-nilai di masyarakat yang berubah seiring waktu dan perkembangan jaman. Hasil dari kajian ini akan didokumentasikan dalam film pendek yang kelak disebarluaskan melalui YouTube dan pemutaran film dengan mengundang kalangan seniman, pemerintah, akademisi, dan masyarakat umum.

Latar Belakang Proyek

Pada November 2017, beredar video mengenai sebuah pertunjukan Joged Bumbung di acara bertajuk ‘Trail Adventure’ di Desa Les, Buleleng, Bali. Viralnya video tersebut dikarenakan adanya gerakan vulgar antara penari dan pengibing. Video ini langsung mendapat kecaman dari masyarakat luas dan pemerintah. Penari, pengibing, dan panitia sempat diinterogasi polisi. Gubernur Bali, Made Mangku Pastika meminta pihak terkait melakukan penertiban Joged Bumbung yang ditampilkan dengan tidak senonoh. Bahkan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali langsung melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) bertemakan “Kembalikan Jogedku” yang dihadiri beberapa pemangku kepentingan terkait (http://stopjogedjaruh.net/?page_id=112). Namun, ada yang janggal dari diskusi tersebut. Keseluruhan perwakilan ‘stakeholder’ yang hadir merupakan laki-laki. Tidak ada perempuan, terutama dari kalangan seniman atau penari Bali yang hadir. Sehingga resolusi yang dihasilkan pun seperti buta akan pandangan perempuan akan seni Joged Bumbung itu sendiri. Hal ini merupakan perwujudan dari langgengnya budaya patriarkis yang abai akan eksistensi perempuan sebagai individu aktif. Karenanya kami rasa penting untuk bertindak, memberi ruang bagi penari Joged Bumbung untuk menegaskan kembali otoritasnya dalam memaknai karya seni yang mereka geluti, dan menolak tunduk pada nilai-nilai patriarkis.

Masalah yang Diangkat

Sebuah bentuk kesenian memang tak jarang berubah bentuknya dari masa ke masa sehingga kadang makna murni yang melandasi lahirnya karya tersebut menjadi kabur. Tak ada yang lebih menyedihkan dari sebuah karya seni yang seiring berjalannya waktu justru mendapatkan lebih banyak stigma negatif. Inilah yang terjadi pada Joged Bumbung, sebuah tarian asal Bali yang kini eksistensinya di mata masyarakat direduksi menjadi sekadar perwujudan dari erotisme dan sensualitas perempuan untuk dinikmati oleh laki-laki. Sangat disayangkan bahwa penilaian soal Joged Bumbung hanya didasarkan pada prasangka dan opini umum yang disepakati secara kolektif oleh kebanyakan kalangan masyarakat. Para penari Joged Bumbung ini menjadi sosok tak berwajah dalam narasi tentang seni pertunjukan yang terdeteriorasi. Adilkah penilaian tersebut? Rasanya tidak. Perempuan pelakon Joged Bumbung juga sudah sepatutnya mendapat ruang bersuara dan menegaskan posisinya sebagai pelaku aktif dalam kesenian ini. Sebab tanpa ruang tersebut, Joged Bumbung hanya akan menjadi korban filtrasi patriarkis lainnya yang disaring hanya berdasarkan nilai-nilai yang menihilkan posisi perempuan.

Indikator Sukses

Bagi kami, kesuksesan sebuah kajian bukanlah ketika peneliti mencapai kesimpulan dari penelitiannya melainkan ketika hasil dari kajian tersebut dapat tersampaikan pada masyarakat luas. Dalam hal ini, indikator kesuksesan kami adalah ketika cerita para perempuan penari yang kami libatkan dalam kajian ini terdengar di masyarakat luas sehingga semoga kelak menjadi salah satu faktor yang dapat mereduksi bahkan menghilangkan stigma buruk masyarakat terhadap Joged Bumbung. Untuk itu, kami akan mengolah hasil penelitian ke dalam film pendek yang nantinya dipertontonkan ke masyarakat luas dengan cara diunggah ke kanal YouTube agar dapat disaksikan secara gratis. Kami akan menggaet 10 kanal berita online untuk membantu mempromosikan film tersebut. Selain itu, kami akan mengadakan lima screening film dan diskusi di tiga universitas (ISI Denpasar, Universitas Udayana, dan Universitas Pendidikan Ganesha) dan dua komunitas di Bali (Hubud Coworking space dan Rumah Sanur). Target kami adalah 2000 viewers di kanal YouTube dan 500 penonton dan peserta diskusi.

Dana yang Dibutuhkan

Rp.50 Juta

Durasi Proyek

9 bulan